Monday, October 27, 2008

Fahmi Ilmansyah The Most Simple Design Proposal

Sering sekali kita, para pemegang keputusan desain (seluas apapun konotasinya), (merasa) tidak mempunyai sumber daya untuk menetapkan arahan desain yang strategis. Kita tidak punya SDM yang kualified, kita tidak punya waktu yang cukup leluasa, pengetahuan, budget dan most of it, kita tidak punya motivasi yang mencukupi agar sebuah permasalahan desain teriset dan teranalisa dengan optimal. Biasanya kita menjadi sangat terkonsentrasi di fashion dari desain. Melakukan eksperimen yang bisa bikin desainer fresh graduate menyesal telah mengisi lowongan kerja di kantor anda atau pernah bercita-cita sebagai desainer. Eksperimen ini seringkali sangat brutal, melelahkan, dan sepertinya tidak berujung.>

Ijinkan saya untuk mengajukan beberapa arahan desain untuk kasus gampang-gampang (diper)sulit seperti ini. Yang pertama harus anda lakukan adalah kredo paling tipikal dari desain; Buatlah desain anda semenarik mungkin. Namun yang utama adalah; Pilihlah yang paling simple. Paling sederhana dalam pemrosesan, paling sederhana dalam pemakaian teknologi, pun paling sederhana secara visual. Pastikan setiap buku, kemasan, billboard, iklan televisi, produk dan brand anda mendapatkan judul yang catchy, dan desainlah permainan warna (mungkin juga bisa didominasi warna putih-agar lebih praktis) dan treatment tipografi yang tidak terlalu sulit dilakukan namun mudah diingat oleh calon user. Kesederhanaan akan memangkas biaya operasional, memangkas tenaga, memangkas penggunaan sumber-sumber daya sosial, budaya, politik, lingkungan tempat anda bekerja dan sumber daya ekologi. Yang lebih bagusnya, melalui prinsip kesederhanaan ini anda bisa berhemat, menabung sumber-sumber daya yang anda butuhkan (baik itu yang berbentuk fisik atau nonfisik; pengetahuan, skill, passion dan terutama- motivasi) demi satu kesempatan dimana arahan desain yang strategis itu lebih jelas daripada sekarang.

Melalui proposal ini, saya telah mengurangi resiko anda kehilangan muka. Bukankah lebih menyenangkan untuk mendengar staff atau publik berkata, "Ah, memang desainnya terlalu sederhana untuk menjadi best seller," daripada, "Kasihan tuh, sudah dirancang rumit-rumit, masih saja orang males beli."

Jangan salahkan saya bila proposal ini ngeyel atau bahkan tidak bekerja. Salahkanlah diri anda sendiri karena tidak menyediakan arahan desain dan pendalaman masalah yang relevan untuk proyek anda. Desain dan desainer seperti apa yang bisa kita harapkan dapat survive dari situasi seperti itu?
Read more!

Desain, Fashion & Orang-Orang Schizophrenia

Kita sering mempersepsikan desain poster sebagai sebuah aktifitas membuat visualisasi yang indah dalam format standar media poster. Kita mempersepsikan desain buku dan kover buku sebagai aktifitas membuat sesuatu 'yang indah-indah' dalam format media dari sebuah buku. Lalu terkeruklah waktu kita untuk membuat yang indah-indah itu sampai kita sadar ternyata tidak ada satu orangpun mau melihat dan atau membeli barang indah buatan kita itu.

Nampaknya kita harus membuang jauh-jauh bahwa aktifitas desain adalah aktifitas membuat sebuah media tampak lebih 'indah' karena keindahan ini sangat relatif, beragam subjektif, sukar didiskusikan, dan oleh karenanya tidak mungkin menjadi indikator -apalagi indikator utama- dari keputusan desain. Bilapun mungkin, yang ‘indah-indah’ itu hanya salah satu bagian saja dari apa yang kita sebut sebagai desain. Keindahan visual, serelatif apapun artinya itu, hanyalah 'Fashion' dari desain. Fashion yang saya maksudkan disini bukan dalam konotasi baju, mode atau yang secara fisik berhubungan dengan tekstil atau garmen. Fashion yang saya maksud adalah sesuatu yang berkonotasi dengan permukaan atau kulit luar dari sesuatu yang tidak bersifat fisik.

Faktanya adalah pertama; ada keping lain selain fashion. Keping dimana proses, kualitas SDM, kualitas jadwal, budget, project management, ideologi dan hal-hal nonvisual lainnya saling mempengaruhi dan termasuk mempengaruhi kualitas fashion. Keping kedua ini sementara akan saya sebut saja sebagai; Isi. Kedua; Meskipun konsumen abad ini kehausan akan sesuatu -yang sepintas adalah fashion- keberadaan keduanya; Fashion dan Isi adalah sesuatu lebih vital.

Keberadaan kedua faktor inilah yang menjadi acuan pendefinisian kita terhadap fungsionalitas. Kita merasa tidak memahami -tidak merasakan nilai fungsional- dari sesuatu atau sebaliknya karena keberadaan atau lenyapnya salah satu diantara keping tersebut dari pikiran dan atau perasaan kita. Kita tidak memahami sebuah lukisan atau karya grafis misalnya, karena kita tidak menjumpai sesuatu yang mengkaitkan karya tersebut dengan hal lain yang tidak bersifat visual (mental). Ada saat-saat dimana kita sangat terpesona oleh kualitas fashion dari artist tertentu misalnya, yang saat itu tidak kita pahami benar, namun lambat laun dengan pertambahan pengetahuan mengenai karya dan artist tersebut, kita menemukan kecintaan, penolakan, atau sejenis nilai fungsi lain yang lebih mendalam. Sama seperti ketika kita pergi menjauh dari sebuah percakapan karena kita tidak merasa mendapatkan manfaat, kita tidak mengerti, kita tidak dapat mengkaitkannya dengan satu bayangan, citra visual mengenai benda atau produk tertentu. Ketiga: kedua hal ini berelasi melalui beragam kemungkinan kualitas hubungan, dan kualitas hubungan dari kedua hal inilah yang pada dasarnya menjadi acuan dari seluruh tindakan, dan penilaian kita selanjutnya.

Bagi sebagian besar orang, hal ini berjalan secara tidak sadar. Dan bersifat jangka panjang. Namun camkanlah, bahwa kita jarang dan bahkan mungkin tidak pernah menilai satu produk itu hanya karena dari desain visualnya saja. Meskipun untuk produk/ brand baru interaksi seringkali dilakukan tanpa pengetahuan dan perasaan yang lengkap. Namun penjualan, pengaplikasian dan pemakaian sebuah produk/brand oleh usernya- dalam konteks jangka pendek maupun jangka panjang selalu adalah proses pendefinisian kebutuhan dan atau keinginan menurut brand/ produk imej, equity, brand value, dan lainnya.


Seluruh media, baik itu yang secara tidak sengaja maupun yang sengaja dirancang, mempunyai keping fashion dan isi ini. Yang menarik ialah bahwa aktifitas dan persepsi kita tentang desain seringkali terkonsentrasi hanya di wilayah fashion saja. Yang menjadi pertanyaan adalah: bagaimana mungkin bisa meyakini atau merasa yakin keputusan desain anda cukup strategis bila yang dipertimbangkan hanyalah keping fashion-nya doang? Evan Williams di Blogger tahu produk blog mereka -meskipun dalam bentukan klasik jurnal sudah familiar dilakukan oleh sebagian besar dari kita- adalah produk inovatif. Mereka tahu pasti bahwa calon user yang paling strategis untuk itu adalah Generasi C. Individu-individu dengan motivasi kreatif, kritis, virtually guyub dan ekspresif dengan kemampuan, pengetahuan dan kekuatan lebih dari cukup untuk mempersonalisasi, mengkustomisasi segala sesuatu yang mungkin agar lebih familiar dengan mereka. Orang orang yang akan pergi dari mall segala ada yang membosankan dan mencari tempat lain dimana mereka bisa membuat, menetapkan keputusan mengenai diri mereka sendiri. Itulah mengapa halaman-halaman Blogger dirancang sesederhana mungkin (secara visual tidak begitu 'indah', saya pikir) sebagai satu halaman yang bisa dikustomisasi (disesuaikan dengan selera), dan itulah mengapa desain seperti itu berhasil. Ada beberapa buku yang sedemikian unik, sedemikian kaku, sedemikian klise, sedemikian inovatif sehingga akan menjadi masalah apabila tidak tersingkronkan dengan baik dengan calon audiens teknik distribusi, promosi dan termasuk arahan yang strategis bagi desain fashion dari buku tersebut. Buku-buku ini, tidak peduli seperti apa indahnya desain visualnya akan menemukan prospeknya dengan mudah seiring terdefinisikannya hal-hal nonvisual tersebut.

Tidak penting benar apakah anda seorang yang logis atau intuitif dalam memutuskan sebuah keputusan desain, yang penting untuk diingat disini adalah bahwa anda akan melakukan debat kusir (sejenis aktifitas yang berkepanjangan, sangat melelahkan dan disguissed daripada diskusi serius) mengenai objek, warna, tipografi atau komposisi seperti apa yang akan divisualkan tanpa pertimbangan riset, dan analisa seputar pendefinisian masalah dan arahan desain dari semua elemen keindahan visual tersebut. Mempertimbangkan faktor fashion saja dari desain produk/brand anda, dan merilisnya begitu saja adalah situasi dimana yang bisa anda harapkan untuk membuatnya berhasil hanyalah Nasib. Bila anda akan melakukannya (dan mungkin berkali-kali) pastikan anda mempunyai sumber-sumber daya, finansial dan tentunya yang -nasib yang dijamin pasti selalu baik (please kasih tahu saya bila anda punya tips-trick, somewhere ada buku atau orang yang tahu tentang itu)- yang lebih dari cukup untuk membiayai eksperimen berbahaya seperti itu. Bila anda tidak begitu, mungkin ada baiknya untuk sedikit lebih santai dan menerima kenyataan bahwa terdapat beribu-ribu kemungkinan estetika visual, dan mungkin berjuta-juta lagi yang tidak kita ketahui detik ini, yang dianggap berhasil dan memberikan nilai fungsi bukan lantaran pencapaian hanya kualitas (atau 'keindahan') visualnya saja melainkan selalu -tidak mungkin tidak- bersama keping nonvisualnya. Ada baiknya untuk sedikit memperkaya persepsi anda bahwa meskipun faktor fashion/visualisasi adalah wajah dari desain, namun adalah sesuatu hal yang tidak wajar bila anda menganggap wajah itu sedemikian penting sampai melupakan bagian tubuh lain dan bahkan kualitas-kualitas lain selain wajah dan anggota tubuh tersebut.

Temukan satu demi satu komponen nonvisual dari desain anda; konseptualisasi, manajemen proses, metode, motivasi, pengetahuan, skill dan lainnya. Bukan dalam konteks visualisasi tapi juga dalam hal problem breaking, analisa, komunikasi dan design strategic thinking. Periksa kualitas dan standar kualifikasi SDM anda. Periksa kualitas komunikasi dan supervisi. Periksa penjadwalan, teknik dan metode manajemen, budget, pengarsipan dan sumber-sumber daya lainnya. Anda akan menemukan bahwa ada lebih banyak hal dari yang bisa saya tuliskan disini yang saling mempengaruhi dalam perkembangan kualitas desain. Hal-hal yang anda lupakan atau tidak anda terima sebagai sesuatu yang penting sebelumnya.

Mungkin akan ada perubahan, mungkin tidak. Pastinya anda akan sembuh, dan terhindar (atau minimal berpikir seperti itu) dari penyakit Skizoprenia (keterbelahan kepribadian atau kegagalan menyatukan satu dengan lainnya) desain. Bila anda cukup rutin melakukannya mungkin skizoprenia dalam bidang lain yang anda idap dapat anda sembuhkan. Segera anda dapat membuat buku atau layanan konsultasi Skizoprenia Self Help (jangan khawatir, saya akan menjadi pasien pertama dan mungkin pasien kesayangan anda ;-)). Keren, kan?. Good Luck. See You Around.
Read more!

Wednesday, October 22, 2008

Read or Die Program








Gak kerasa, sudah dua bulan berlalu sejak Mampetide Syndroma alias Sindrom Sulit Beride terjadi di NLG Studio. Situasi penuh kefrustasian yang justru menjadi latar belakang inisiasi program Read or Die. Tidak seseram judulnya. RoD adalah program semacam klab baca dan diskusi buku. Satu minggu sekali, secara bergiliran dipilih satu buku untuk dibaca oleh setiap staff. Hasil bacaan tersebut kemudian direview, dipresentasikan dan didiskusikan di sesi khusus. Biasanya sih hari Jum'at, after hours tentunya.

Alhamdulillah, hasilnya kini sudah mulai terasa. Meskipun memang ide-ide tidak pernah turun kayak hujan, tapi karena program ini kita 'terpaksa' musti banyak baca, banyak ngobrol. Walhasil, pengetahuan dan skill juga bertambah terus. Pastinya ini positif. Mudah-mudahan bisa lebih tekun lagi.

Klik disini untuk mengikuti perjalanan Read or Die.
Read more!

Tuesday, October 21, 2008

Tiga Karakter Desain dan Desainer

Sebelumnya saya harus ngomong bahwa pengkategorian ini bukan bermaksud untuk mensubordinasikan atau bahkan mengkonfrontasikan satu kategori dengan yang lainnya. Lebih praktis dari itu, tulisan ini dibuat agar kita punya instrumen tambahan - bagi calon-calon klien dalam memilih jenis desain & desainer yang dibutuhkan, dan bagi desainer; untuk mempelajari dan mengatur posisinya masing-masing. Stefan Sagmeister dan David Carson membedakan desainer kedalam dua karakteristik, sementara saya sendiri mengamati bahwa sedikitnya ada tiga karakteristik besar:

1. Content Driven
Ini satu karakteristik dimana desainer mempunyai kecenderungan dalam mengolah ide dasar dari media, distribusi, dan strategi-strategi lain lebih dari visualisasi 2 dimensional (grafis). Ketika anda menyebutkan kata Poster misalnya, yang ada di kepala desainer ini adalah satu medium khusus dengan format, distribusi, material, teknik produksi, interaksi dan hal lain untuk dieskplorasi. Desainer seperti ini selalu mengerjakan visualisasi di bagian akhir dan hanya sebagai bagian implementasi dari strategi-strategi konseptual. Tidak lebih dari itu. Walhasil, mereka sukar memutuskan untuk loyal pada satu style visual, in fact mereka bisa berkarya dengan banyak kemungkinan style visual. Beberapa kadang bisa secara drastis melompat dari satu karakter visual ke karakter visual yang lain.

2. Style driven
Kategori ini justru sangat loyal pada satu karakter visualisasi tertentu. Menganggap style visual tertentu sebagai bagian dari personalitasnya, desainer seperti ini bekerja seperti seorang fashion stylists, pelukis atau pegrafis. Berawal dan selalu berfokus pada visualisasi. Ketika anda menyebutkan kata Poster misalnya; mereka langsung membayangkan visualisasinya. Eksplorasi, eksperimen dan studi mengenai fashion (bentuk/ kemasan dari sebuah makna) menjadi unsur yang paling dominan dalam ketekunannya. Stefan Sagmeister mengklaim bahwa David Carson adalah salah satu model yang tepat bagi spesies ini.

3. Kombinasi dari keduanya
Jenis yang saya maksud disini adalah yang kuat di content dan style visual. Dari kedua kategori diatas spesies ini barangkali yang paling langka. Sampai saat ini saya hanya bertemu dengan sedikit sekali. Barangkali memang lebih mudah untuk berkonsentrasi pada satu hal saja daripada dua hal sekaligus.

Yang tak kalah menarik untuk dicermati menurut saya ialah bahwa pertama; industri desain sampai saat ini tidak banyak menyisakan cukup ruang bagi desainer untuk survive hanya dengan satu cara yang steril dan terkotak di salah satu kategori saja. Pada prakteknya, kita bisa amati bahwa kadang content driven designer juga mendesain dengan - stylistically - visual driven, demikian juga sebaliknya. Jadi tidak sehitam putih itu. Kedua; tidak ada yang lebih ‘baik’ atau ‘benar’ dari keduanya selain bahwa masing-masing punya banyak alasan sehingga sampai di posisi tersebut, dan efektifitas penggunaannya sangat bergantung dengan jenis pekerjaan, segmen audiens, dan medium yang tepat dengannya. Ketiga; Butuh kecermatan khusus dalam melihat seluruh rangkaian portfolio, dan latar belakang kedirian sebelum mengklaim di posisi mana sebetulnya seorang desainer bisa menemukan kekuatan maksimalnya.Yang jelas pemilahan ini bisa dilihat sebagai pemposisian diri, karya dan aktifitas desain. Sehingga klien dan calon klien, desainer, ataupun pengamat bisa memilih, mencoba dan mengerjakan pekerjaanya lebih positif, fokus, strategis dan juga efektif. Mudah-mudahan begitu ya ;-).
Read more!

Back on Demand


















Hai, hai. Tiga bulan lebih barangkali saya 'puasa' posting. Saya suka bilang, "lagi hektik banget di studio sama urusan lain" kalo ada yang nanya kenapa blognya ga keurus, well, sebetulnya emang mungkin gak bisa ngemenej aja kali ye. Yang jelas, banyak hal terjadi, dan terpikirkan selama kurun waktu puasa ini. Rectoverso yang gak habis-habis, proyek lain, ide dan lain-lain yang berhasil memaksa saya, sekali lagi, buat mulai blogging. Saya bakal coba bertahap dengan mulai ngeberesin layout dan postingan sebelumnya. Ada beberapa posting dari blog saya yang lama: Platform Network, yang kayaknya -menimbang ternyata sungguh sulit ngemenej banyak sekali blog- mending saya pindahkan semua materinya kesini. Jadi yang baca juga gak repot. Selanjutnya, ada beberapa posting baru. Mudah-mudahan bisa lebih tekun. See You around.
Read more!