Saturday, November 22, 2008

Ecofont: Huruf ramah lingkungan

"After Dutch holey cheese, there now is a Dutch font with holes as well."






Angkat topi untuk Sprang, studio desain dari kota keju, Belanda yang telah merancang huruf ramah lingkungan: Ecofont. Huruf yang dapat mengurangi penggunaan tinta printer dan toner up to 20% dibanding huruf-huruf biasa.


Desain hurufnya sendiri dikembangkan dari Vera Sans, fonts opensource, yang strokenya dibuat bolong/ dilubangi layaknya keju Belanda. Tidak dibutuhkan tinta untuk mencetak sebuah bolong/lubang, inilah ide sederhana sehingga penghematan dapat dilakukan.






Dengan begitu, desainer, percetakan, atau siapapun pengguna dan pencetak font dapat berhemat biaya (untuk membeli tinta dan toner tersebut), berhemat environmental cost yang harus dikeluarkan setiap kali kita membuat sesuatu.

Hey. Ada versi gratisnya! Download sekarang juga dari sini.
Read more!

Thank God There's Deadline!

Bila anda seorang desainer grafis, penulis, pencipta musik atau bidang kreatif lainnya, pasti anda pernah mengalami saat-saat dimana sepertinya karya anda tidak akan pernah selesai. Anda menemukan kombinasi warna baru yang karenanya menuntut perubahan susunan komposisi. Perubahan ini kemudian menuntus penyesuaian elemen nada, ritme dan lainnya. Yang kemudian, disaat anda bangun dari tidur sebentar anda mungkin, memperoleh inspirasi baru entah dari mana (mungkin dari blog ini ;-)). Clingg! anda merasa telah melakukan hal yang salah dan musti melakukan perancangan dari awal.

Terdapat pertimbangan inovasi, terdapat diferensiasi material, sumber daya manusia, motivasi, teknologi -struktur masalah- yang membuat tidak peduli seberapa lengkap kita merasa telah mempertimbangkan sebuah masalah, pengembangan solusi desain nampak seperti sebuah aktifitas menumbuk atom. Selalu ada bagian lebih kecil, yang saling berkaitan dengan bagian lain dalam konstelasi multidisipliner. Ketemu sosiologi, ketemu antropologi, ketemu ekonomi, teologi, dan lain sebagainya.

Dan anda tahu? sama seperti mengakhiri proses rumit ini secepat mungkin, atau menelusuri tumbukannya sejauh mungkin, tidak ada satupun yang dapat menjamin bahwa solusi desain tersebut akan lebih baik. Saya pernah mengerjakan satu proyek yang cukup panjang (satu tahun lebih), dimana bahkan di akhir proyek tersebut saya tidak merasakan bahwa solusi desain yang saya kerjakan adalah yang paling 'optimal' dalam merespon permasalahan.

Tidak peduli seberapa sepat atau lambat proses desain anda lakukan, akan selalu terdapat satu momen dimana solusi desain -yang bahkan secara kolektif telah diakui sebagai sesuatu yang 'optimal'- sebetulnya hanyalah adalah solusi yang optimal dalam kurun waktu pengerjaannya. Tidak di waktu yang lain.

Melalui situasi ini saya mempelajari beberapa hal. Betapa deadline -secara sadar atau tidak, melalui instruksi atau self intiated- tidaklah pernah berarti 'hanya' deadline.Ini adalah sebuah kebutuhan dari setiap proses desain. Salah satu yang membuat sebuah proses menyediakan waktu untuk berimprovisasi dan ber-rekreasi (dengan adanya pemberhentian dari proses tersebut), dua hal yang memberikan kontribusi penting dalam pengembangan proses tersebut. Saya bisa memahami bahwa di titik ini desain adalah sebuah seni, bukan hanya sains. Saya juga dapat memahami bahwa pada dasarnya kita semua butuh Deadline, dan betapa keberadaan hal tersebut adalah sama pentingnya dengan proses itu sendiri,

Pastinya, saya dapat menghargai keberadaan sebuah Deadline yang layak, tidak peduli betapa relatifnya makna dari kata-kata tersebut.
Read more!

Wednesday, November 19, 2008

Design Great Debates. Cheers!

Menarik mengikuti diskusi di sesi awal perkuliahan Identitas Visual di hari Jum'at yang lalu (lha, kok saya baru postingnya sekarang, ya?). Dimulai dengan presentasi mengenai Logo Design How to (oleh Aang dan Rizal kalo tidak salah), dilengkapi dengan contoh yang beragam, sampai akhirnya tiba pada pro dan kontra mengenai 'apakah terdapat semacam 'standar' dalam pemrosesan sebuah logo?'.

Sebagian peserta kuliah dengan tegas menyatakan: Tidak ada standar dalam kreatifitas, demikian pula dalam desain. Beberapa yang lain menyangsikan, "Masa sih segitunya, kan desain juga ada deadlinenya, ada pemesan, ada proses yang rumit, ada banyak sekali pertimbangan yang mendorong dibuatnya 'standarisasi'?."

Kontroversi. And guess what?. Tidak peduli akan ada berapa banyak lagi buku dan formula mengenai desain, tidak peduli ada berapa banyak 'gerakan anti-formula desain', proses pendefinisian desain dan kreatifitas akan terus berlangsung seperti ini. Pertanyaannya adalah: akankah kita menikmati dan memahaminya?.

Cheers for the great(er) debates!.

Read more!

Thursday, November 13, 2008

Logo adalah Jangkar (Part II)

Ada setidaknya dua hal paling dekaden dalam branding ketika anda memiliki sebuah logo. Pertama; merasa bahwa desain logo adalah sesuatu yang terpisah dengan desain media-media lain dari brand anda. Kedua; merasa bahwa 'kewajiban' anda dalam (visual) branding telah selesai.

Ini adalah hal-hal paling berbahaya simply karena anda tidak lantas memiliki kapal hanya dengan membuat jangkar. Seperti juga berbahaya untuk mempunyai sebuah jangkar yang asal ada.

Anda tidak akan mendapatkan persepsi identifikasi dan identitas brand yang kuat hanya melalui sebuah logo. Apalagi, bila logo anda dirancang sebagai sesuatu yang terpisah dengan arahan desain media-media lain yang dibuat brand anda. Apakah logo Apple akan berjaya bila yang diproduksi oleh Apple hanyalah logonya saja? Apakah logo Apple akan berfungsi optimal bila Apple tidak menginjeksikan filosofi simplisitas kedalam desain atribut brand, branding dan produk, yang dengan demikian mengembangkan arahan desain yang kurang lebih sama untuk desain logonya?

Sama seperti kapal laut, identitas visual adalah satu sistem dimana banyak bagian (media) beroperasi, saling terkait dan berbagi fungsi. Sebuah logo, hanya akan berfungsi bila terdapat media-media lain; poster, fashion, product, packaging, dsb. Dia akan menjangkarkan media-media ini. Tanpa logo, media-media dengan kemungkinan desain yang bervariasi ini akan lebih sulit diidentifikasi demikian pula sebaliknya, hampir mustahil (kecuali tentunya untuk produk-produk eksperimental) sebuah logo dapat bertahan bila tidak ada media lain untuk dijangkarkan. Logo dan sistem desain Apple, hanyalah salah satu saja dari banyak sekali contoh dimana fungsi dari logo ini pun akan menguat bila media-media lain ini didesain dengan arahan yang terintegrasi. Tidak terpisah. Karena keduanya, logo dan media visual lainnya, dilandaskan dari visi brand, positioning, diferensiasi dan image yang sama.

SO, please don't be such naive
untuk terlalu sumringah atau bahkan mengkritik habis-habisan keberadaan sebuah logo. Mending alokasikan konsentrasi anda untuk memeriksa bagaimana nasib desain media-media lain dari brand tersebut? Apakah terdapat arahan desain yang terintegrasi? Apakah sewaktu logo didesain, dipikirkan pula arahan yang kurang lebih sama untuk desain media-media ini? Apakah positioning, visi, dan terutama: personalitas brand -selain setumpuk 'standarisasi' teknis pemrosesan- melandasi desain logo tersebut?

Anda merayakan, atau mengkritik, atau mencaci maki -menghabiskan konsentrasi penuh- untuk sesuatu yang di bayangan anda adalah Kapal Laut. Padahal yang anda miliki hanyalah sebuah logo. Jangkar. Sesuatu yang tanpa kapal laut, sampai kapanpun tidak akan mempunyai manfaat
. Damn!. What a waste.
Read more!

Monday, November 10, 2008

Desain adalah Teamworking

Sejak desainer tidak merancang untuk dirinya. Sejak karya desain membutuhkan 'pemakai' , 'pemesan' -partisipasi dari 'stakeholder' ini- dalam bentuk 'approval' atau lainnya, maka sejak itulah Desain adalah Teamworking. Dalam banyak situasi seperti ini, posisi desainer -bila dikaitkan dengan otoritas keputusan desain- seringkali bahkan kecil saja.

Pujian untuk desainer dengan begitu adalah juga pujian untuk klien, dan juga pujian untuk sekelompok orang-orang yang secara langsung atau tidak, berpartisipasi dalam proses desain tersebut.

So, bila suatu saat anda merasa desain anda gagal, tengoklah bukan hanya desainer anda tapi juga seluruh individu yang terlibat. Siapa tahu, mungkin justru anda sendiri yang membuat desain anda gagal ;-).
Read more!

Saturday, November 08, 2008

Innovation Hippie

Apakah semua orang tertawa senang ketika Evan Williams memutuskan untuk membuat jaringan jurnal online yang kemudian disebut sebagai Blog?. Apakah orang-orang merasa bahagia ketika Steve Jobs balik ke Apple dan merevolusi apa yang kita sebut sebagai komputer, termasuk desainnya?

Tidak. Hanya sebagian kecil saja yang merasakan inovasi tersebut sebagai jawaban dari permasalahan hidup mereka (perhatikan, orang-orang seperti ini memang selalu mengakui adanya permasalahan dalam hidup mereka). Sebagian besar dari kita sinis, skeptis, curiga dan tidak mengakui keberadaan inovasi tersebut. Kita punya lebih banyak ketakutan, keterbatasan, dan alasan untuk tidak melepaskan status quo yang sebetulnya keliru daripada memupuk pemahaman yang relevan, dan berusaha membuka diri terhadap manfaat dari sebuah inovasi

Kini sebagian besar dari pengkritik merasakan kesulitan yang cukup besar dalam memenej lingkungan sosialnya bila tetap mempertahankan sikap sinis, skeptis dan curiga mereka terhadap inovasi-inovasi tersebut. Kini ada lebih banyak orang dari perkiraan Evan dan Steve yang berlomba memiliki komputer apple rilisan terbaru. Orang-orang yang akan ngeblog ketika bahkan mereka tidak tahu topik apa yang cukup relevan untuk ditulis dalam blognya. Orang-orang ini adalah -tidak peduli dengan sedahsyat apa mereka merespon ketinggalannya- bukanlah innovator. Mereka adalah Follower. Kaum hippies novasi. Orang-orang yang berpindah dalam sekejap -dan hanya dapat memutuskan untuk berpindah- ketika sebuah inovasi menjadi lebih meriah dari sebelumnya.

Ada lebih banyak follower daripada leader di muka bumi ini. Kita tahu pasti siapa yang mendapatkan kejayaan, dan dari siapa hal tersebut diperoleh.
Read more!

We are all designer


















Kita menulis di buku catatan kita, menggambarinya, menambahkan dekorasi agar terlihat menarik dan memberikan buku tersebut sampul yang manis. Kita memilih warna yang kita rasa cocok untuk kamar, pagar, dan dinding rumah kita. Kita menandai dan membuat elemen-elemen visual menjadi representasi personalitas kita. kita berkomunikasi. Kita bahkan menarik aktifitas komunikasi ini sedikit lebih jauh ketika membuat undangan pertemuan RT/RW atau ulang Tahun, atau membuat tulisan 'Awas ada Anjing Galak' untuk ditempelkan di pagar rumah kita.

Tidak peduli sekecil apa, we're design our own communication artwork.
Dengan cara, waktu, skill dan pengetahuan yang kita punyai kita melakukan sesuatu yang disebut sebagai 'Desain Grafis'. Kita semua mempunyai -dengan kualitas yang berbeda- Kebiasaan Grafis. Kita semua pernah, sedang dan telah melakukan aktifitas-aktifitas ini, berkali-kali, menyusun bagian demi bagian dari apa yang disebut sebagai Budaya Grafis, yang secara langsung atau tidak, menjadi representasi dari diri, komunitas, negara dan bangsa kita.

Semua aktifitas vernakular berjalan sesederhana itu.
Read more!

Monday, November 03, 2008

Emang standar harganya berapa sih?

Tidak mudah menjawab pertanyaan mengenai standar harga jasa desain grafis. Saya sendiri suka agak gugup. Saya tahu bahwa kita mempunyai industri desain grafis dengan harga yang tidak pernah terpatok di satu nominal. Infact, kisaran harga jasa desain dari studio satu dengan lainnya bisa jadi sangat jomplang. Kita bisa mendapati harga 15 milyar dari studio anu untuk satu kasus redesain sebuah logo, sementara di banyak situs freelance job online setiap harinya bertebaran lelang proyek desain (logo)seharga 200 atau bahkan hanya 50$.

Barangkali, ketiadaan standar harga jasa desain memang muncul karena industri mempersepsi dan memperlakukan desain grafis sebagai 'seni murni '(kita bisa mendapati perbedaan harga karya yang sangat jomplang dari satu seniman dengan seniman lainnya) yang karenanya menjadi sangat relatif. Saya belum tahu pasti. Yang saya tahu pasti ialah fakta bahwa yang dinamakan 'Standar' adalah semacam kesepatan kolektif -formal atau tidak- dan negeri ini punya sedikit -terlalu sedikit- infratruktur, minat, pengetahuan, dan skill kolektif untuk membuat 'Standar-standar untuk dirinya' tersebut.

Lihat saja, meskipun perkembangan teknologi internet dan media terbukti mendorong munculnya beberapa kolektif desain grafis, harus diakui bahwa dari perkumpulan-perkumpulan -yang memang masih terlalu sedikit dan berada di awal-awal pertumbuhan ini- kita tidak dapat berharap terlalu banyak. Ada lebih sedikit atau mungkin bahkan tidak ada, dari perkumpulan tersebut, yang tertarik untuk memasukkan standarisasi harga dalam program atau kebijakannya. Akademi-akademi desain sudah bermunculan, beberapa diantaranya memperoleh 'kesuksesan' penjualan dan profit, namun sebagian besar sulit keluar dari urusan teknis rumah tangga masing-masing. Tidak mungkin pula berharap banyak dari pemerintah. Kreatifitas yang mendasari seluruh aktifitas desain dan desain grafis, seringkali pula disebut-sebut sebagai biang kerok dari kerumitan dan kehilangan motivasi untuk membuat standarisasi.

Yang jelas, dalam situasi seperti inilah desain grafis di negeri ini beroperasi. Beberapa orang mencari-cari standar dan tidak menemukan apa-apa selain kisaran harga untuk dijadikan referensi, beberapa merasa punya standar padahal nyatanya tidak pernah ada kesepakatan yang jelas mengenai standar tersebut. Beberapa komunitas/ asosiasi storyboard artist saya dengar sudah mulai menerapkan standarisasi tarif, sementara sebagian besar llustrator saya percaya, masih beroperasi secara sporadis. Apa memang yang diharapkan dari situasi Outlaw Zone seperti ini?

Tidak mudah untuk dapat mengambil sikap yang objektif dan juga strategis. Saya sendiri memberlakukan kebijakan yang sangat spesifik (yang tidak menggantungkan pada 'standar-standar' harga yang katanya ada di industri) untuk studio saya. Saya tidak pernah tahu pasti apakah hal yang saya lakukan itu benar karena tidak pernah ada indikator standarisasi kolektif untuk mengukurnya. Satu hal yang saya tahu pasti. Dengan budget ini, kebutuhan studio terpenuhi, dan yang jelas, saya punya obat bagi kegugupan saya.
Read more!

Sunday, November 02, 2008

Apakah logo anda berfungsi?: Tes Sederhana

Kecuali anda memang berniat untuk menghambur-hamburkan uang dan sumber daya, memeriksa dampak dari sebuah logo yang anda miliki adalah sesuatu yang penting. Berikut cara super hemat dan sangat sederhana yang pernah saya lakukan.
  1. Cetaklah logo anda menjadi sticker dalam jumlah yang banyak. Anda bisa pakai printer rumahan yang anda punya untuk mencetak logo anda di kertas label sticker, anda bisa meluangkan waktu untuk memesan cutting sticker bila anda mau. Sesuaikan ukuran logo dengan bidang sticker, dan cetaklah dengan berbagai ukuran.
  2. Letakkan sticker-sticker yang sudah dicetak di tempat yang dilalui oleh staff anda. Bila perlu, letakkan kertas bertuliskan, "Silahkan ambil semaumu. Gratis, tis, tis"
  3. Perhatikan.
Anda akan terkejut melihat bagaimana -bahkan tanpa kertas bertulisan pun- staff anda akan mengambil dan menempelkan sticker tersebut di properti yang mereka miliki. Bila ini yang terjadi. Selamat!, logo anda telah dirasa 'penting', patut dibanggakan oleh staff anda, dan pastinya; berfungsi. Bila bukan ini yang terjadi, waspadalah. Barangkali staff anda adalah orang-orang yang gak pedulian, barangkali brand anda tidak mempunyai imej dan nilai yang cukup kuat untuk dibanggakan, atau bahkan bisa jadi logo anda memang tidak bekerja. Mudah-mudahan tidak begitu. Selamat mencoba.
Read more!

Saturday, November 01, 2008

Logo adalah Jangkar



Sebuah jangkar tidak mewakili keseluruhan fungsi dari kapal laut. Hanya ada satu tugas dari sebuah jangkar; menjaga agar kapal tidak ngeloyor kemana-mana. Bila brand anda adalah sebuah kapal laut, dan seluruh gerak-gerik brand anda adalah rute dimana kapal tersebut berlayar, logo adalah jangkar dari brand anda. Ini berarti dua hal, pertama; brand anda bisa ngapa-ngapain, bisa begini, bisa begitu, namun hanya akan ada satu benda sederhana yang membuat brand anda bisa berlabuh; sebuah logo. Kedua; anda bisa merancangnya sedemikian rumit, glamour, hi-tech, atau apapun, namun pada dasarnya hanya ada satu tugas sederhana yang dituntut dari sebuah logo; memastikan brand anda -di tempat, dan saat yang tepat- berlabuh. Begitulah adanya sebuah jangkar dan logo.
Read more!

Monday, October 27, 2008

Fahmi Ilmansyah The Most Simple Design Proposal

Sering sekali kita, para pemegang keputusan desain (seluas apapun konotasinya), (merasa) tidak mempunyai sumber daya untuk menetapkan arahan desain yang strategis. Kita tidak punya SDM yang kualified, kita tidak punya waktu yang cukup leluasa, pengetahuan, budget dan most of it, kita tidak punya motivasi yang mencukupi agar sebuah permasalahan desain teriset dan teranalisa dengan optimal. Biasanya kita menjadi sangat terkonsentrasi di fashion dari desain. Melakukan eksperimen yang bisa bikin desainer fresh graduate menyesal telah mengisi lowongan kerja di kantor anda atau pernah bercita-cita sebagai desainer. Eksperimen ini seringkali sangat brutal, melelahkan, dan sepertinya tidak berujung.>

Ijinkan saya untuk mengajukan beberapa arahan desain untuk kasus gampang-gampang (diper)sulit seperti ini. Yang pertama harus anda lakukan adalah kredo paling tipikal dari desain; Buatlah desain anda semenarik mungkin. Namun yang utama adalah; Pilihlah yang paling simple. Paling sederhana dalam pemrosesan, paling sederhana dalam pemakaian teknologi, pun paling sederhana secara visual. Pastikan setiap buku, kemasan, billboard, iklan televisi, produk dan brand anda mendapatkan judul yang catchy, dan desainlah permainan warna (mungkin juga bisa didominasi warna putih-agar lebih praktis) dan treatment tipografi yang tidak terlalu sulit dilakukan namun mudah diingat oleh calon user. Kesederhanaan akan memangkas biaya operasional, memangkas tenaga, memangkas penggunaan sumber-sumber daya sosial, budaya, politik, lingkungan tempat anda bekerja dan sumber daya ekologi. Yang lebih bagusnya, melalui prinsip kesederhanaan ini anda bisa berhemat, menabung sumber-sumber daya yang anda butuhkan (baik itu yang berbentuk fisik atau nonfisik; pengetahuan, skill, passion dan terutama- motivasi) demi satu kesempatan dimana arahan desain yang strategis itu lebih jelas daripada sekarang.

Melalui proposal ini, saya telah mengurangi resiko anda kehilangan muka. Bukankah lebih menyenangkan untuk mendengar staff atau publik berkata, "Ah, memang desainnya terlalu sederhana untuk menjadi best seller," daripada, "Kasihan tuh, sudah dirancang rumit-rumit, masih saja orang males beli."

Jangan salahkan saya bila proposal ini ngeyel atau bahkan tidak bekerja. Salahkanlah diri anda sendiri karena tidak menyediakan arahan desain dan pendalaman masalah yang relevan untuk proyek anda. Desain dan desainer seperti apa yang bisa kita harapkan dapat survive dari situasi seperti itu?
Read more!

Desain, Fashion & Orang-Orang Schizophrenia

Kita sering mempersepsikan desain poster sebagai sebuah aktifitas membuat visualisasi yang indah dalam format standar media poster. Kita mempersepsikan desain buku dan kover buku sebagai aktifitas membuat sesuatu 'yang indah-indah' dalam format media dari sebuah buku. Lalu terkeruklah waktu kita untuk membuat yang indah-indah itu sampai kita sadar ternyata tidak ada satu orangpun mau melihat dan atau membeli barang indah buatan kita itu.

Nampaknya kita harus membuang jauh-jauh bahwa aktifitas desain adalah aktifitas membuat sebuah media tampak lebih 'indah' karena keindahan ini sangat relatif, beragam subjektif, sukar didiskusikan, dan oleh karenanya tidak mungkin menjadi indikator -apalagi indikator utama- dari keputusan desain. Bilapun mungkin, yang ‘indah-indah’ itu hanya salah satu bagian saja dari apa yang kita sebut sebagai desain. Keindahan visual, serelatif apapun artinya itu, hanyalah 'Fashion' dari desain. Fashion yang saya maksudkan disini bukan dalam konotasi baju, mode atau yang secara fisik berhubungan dengan tekstil atau garmen. Fashion yang saya maksud adalah sesuatu yang berkonotasi dengan permukaan atau kulit luar dari sesuatu yang tidak bersifat fisik.

Faktanya adalah pertama; ada keping lain selain fashion. Keping dimana proses, kualitas SDM, kualitas jadwal, budget, project management, ideologi dan hal-hal nonvisual lainnya saling mempengaruhi dan termasuk mempengaruhi kualitas fashion. Keping kedua ini sementara akan saya sebut saja sebagai; Isi. Kedua; Meskipun konsumen abad ini kehausan akan sesuatu -yang sepintas adalah fashion- keberadaan keduanya; Fashion dan Isi adalah sesuatu lebih vital.

Keberadaan kedua faktor inilah yang menjadi acuan pendefinisian kita terhadap fungsionalitas. Kita merasa tidak memahami -tidak merasakan nilai fungsional- dari sesuatu atau sebaliknya karena keberadaan atau lenyapnya salah satu diantara keping tersebut dari pikiran dan atau perasaan kita. Kita tidak memahami sebuah lukisan atau karya grafis misalnya, karena kita tidak menjumpai sesuatu yang mengkaitkan karya tersebut dengan hal lain yang tidak bersifat visual (mental). Ada saat-saat dimana kita sangat terpesona oleh kualitas fashion dari artist tertentu misalnya, yang saat itu tidak kita pahami benar, namun lambat laun dengan pertambahan pengetahuan mengenai karya dan artist tersebut, kita menemukan kecintaan, penolakan, atau sejenis nilai fungsi lain yang lebih mendalam. Sama seperti ketika kita pergi menjauh dari sebuah percakapan karena kita tidak merasa mendapatkan manfaat, kita tidak mengerti, kita tidak dapat mengkaitkannya dengan satu bayangan, citra visual mengenai benda atau produk tertentu. Ketiga: kedua hal ini berelasi melalui beragam kemungkinan kualitas hubungan, dan kualitas hubungan dari kedua hal inilah yang pada dasarnya menjadi acuan dari seluruh tindakan, dan penilaian kita selanjutnya.

Bagi sebagian besar orang, hal ini berjalan secara tidak sadar. Dan bersifat jangka panjang. Namun camkanlah, bahwa kita jarang dan bahkan mungkin tidak pernah menilai satu produk itu hanya karena dari desain visualnya saja. Meskipun untuk produk/ brand baru interaksi seringkali dilakukan tanpa pengetahuan dan perasaan yang lengkap. Namun penjualan, pengaplikasian dan pemakaian sebuah produk/brand oleh usernya- dalam konteks jangka pendek maupun jangka panjang selalu adalah proses pendefinisian kebutuhan dan atau keinginan menurut brand/ produk imej, equity, brand value, dan lainnya.


Seluruh media, baik itu yang secara tidak sengaja maupun yang sengaja dirancang, mempunyai keping fashion dan isi ini. Yang menarik ialah bahwa aktifitas dan persepsi kita tentang desain seringkali terkonsentrasi hanya di wilayah fashion saja. Yang menjadi pertanyaan adalah: bagaimana mungkin bisa meyakini atau merasa yakin keputusan desain anda cukup strategis bila yang dipertimbangkan hanyalah keping fashion-nya doang? Evan Williams di Blogger tahu produk blog mereka -meskipun dalam bentukan klasik jurnal sudah familiar dilakukan oleh sebagian besar dari kita- adalah produk inovatif. Mereka tahu pasti bahwa calon user yang paling strategis untuk itu adalah Generasi C. Individu-individu dengan motivasi kreatif, kritis, virtually guyub dan ekspresif dengan kemampuan, pengetahuan dan kekuatan lebih dari cukup untuk mempersonalisasi, mengkustomisasi segala sesuatu yang mungkin agar lebih familiar dengan mereka. Orang orang yang akan pergi dari mall segala ada yang membosankan dan mencari tempat lain dimana mereka bisa membuat, menetapkan keputusan mengenai diri mereka sendiri. Itulah mengapa halaman-halaman Blogger dirancang sesederhana mungkin (secara visual tidak begitu 'indah', saya pikir) sebagai satu halaman yang bisa dikustomisasi (disesuaikan dengan selera), dan itulah mengapa desain seperti itu berhasil. Ada beberapa buku yang sedemikian unik, sedemikian kaku, sedemikian klise, sedemikian inovatif sehingga akan menjadi masalah apabila tidak tersingkronkan dengan baik dengan calon audiens teknik distribusi, promosi dan termasuk arahan yang strategis bagi desain fashion dari buku tersebut. Buku-buku ini, tidak peduli seperti apa indahnya desain visualnya akan menemukan prospeknya dengan mudah seiring terdefinisikannya hal-hal nonvisual tersebut.

Tidak penting benar apakah anda seorang yang logis atau intuitif dalam memutuskan sebuah keputusan desain, yang penting untuk diingat disini adalah bahwa anda akan melakukan debat kusir (sejenis aktifitas yang berkepanjangan, sangat melelahkan dan disguissed daripada diskusi serius) mengenai objek, warna, tipografi atau komposisi seperti apa yang akan divisualkan tanpa pertimbangan riset, dan analisa seputar pendefinisian masalah dan arahan desain dari semua elemen keindahan visual tersebut. Mempertimbangkan faktor fashion saja dari desain produk/brand anda, dan merilisnya begitu saja adalah situasi dimana yang bisa anda harapkan untuk membuatnya berhasil hanyalah Nasib. Bila anda akan melakukannya (dan mungkin berkali-kali) pastikan anda mempunyai sumber-sumber daya, finansial dan tentunya yang -nasib yang dijamin pasti selalu baik (please kasih tahu saya bila anda punya tips-trick, somewhere ada buku atau orang yang tahu tentang itu)- yang lebih dari cukup untuk membiayai eksperimen berbahaya seperti itu. Bila anda tidak begitu, mungkin ada baiknya untuk sedikit lebih santai dan menerima kenyataan bahwa terdapat beribu-ribu kemungkinan estetika visual, dan mungkin berjuta-juta lagi yang tidak kita ketahui detik ini, yang dianggap berhasil dan memberikan nilai fungsi bukan lantaran pencapaian hanya kualitas (atau 'keindahan') visualnya saja melainkan selalu -tidak mungkin tidak- bersama keping nonvisualnya. Ada baiknya untuk sedikit memperkaya persepsi anda bahwa meskipun faktor fashion/visualisasi adalah wajah dari desain, namun adalah sesuatu hal yang tidak wajar bila anda menganggap wajah itu sedemikian penting sampai melupakan bagian tubuh lain dan bahkan kualitas-kualitas lain selain wajah dan anggota tubuh tersebut.

Temukan satu demi satu komponen nonvisual dari desain anda; konseptualisasi, manajemen proses, metode, motivasi, pengetahuan, skill dan lainnya. Bukan dalam konteks visualisasi tapi juga dalam hal problem breaking, analisa, komunikasi dan design strategic thinking. Periksa kualitas dan standar kualifikasi SDM anda. Periksa kualitas komunikasi dan supervisi. Periksa penjadwalan, teknik dan metode manajemen, budget, pengarsipan dan sumber-sumber daya lainnya. Anda akan menemukan bahwa ada lebih banyak hal dari yang bisa saya tuliskan disini yang saling mempengaruhi dalam perkembangan kualitas desain. Hal-hal yang anda lupakan atau tidak anda terima sebagai sesuatu yang penting sebelumnya.

Mungkin akan ada perubahan, mungkin tidak. Pastinya anda akan sembuh, dan terhindar (atau minimal berpikir seperti itu) dari penyakit Skizoprenia (keterbelahan kepribadian atau kegagalan menyatukan satu dengan lainnya) desain. Bila anda cukup rutin melakukannya mungkin skizoprenia dalam bidang lain yang anda idap dapat anda sembuhkan. Segera anda dapat membuat buku atau layanan konsultasi Skizoprenia Self Help (jangan khawatir, saya akan menjadi pasien pertama dan mungkin pasien kesayangan anda ;-)). Keren, kan?. Good Luck. See You Around.
Read more!

Wednesday, October 22, 2008

Read or Die Program








Gak kerasa, sudah dua bulan berlalu sejak Mampetide Syndroma alias Sindrom Sulit Beride terjadi di NLG Studio. Situasi penuh kefrustasian yang justru menjadi latar belakang inisiasi program Read or Die. Tidak seseram judulnya. RoD adalah program semacam klab baca dan diskusi buku. Satu minggu sekali, secara bergiliran dipilih satu buku untuk dibaca oleh setiap staff. Hasil bacaan tersebut kemudian direview, dipresentasikan dan didiskusikan di sesi khusus. Biasanya sih hari Jum'at, after hours tentunya.

Alhamdulillah, hasilnya kini sudah mulai terasa. Meskipun memang ide-ide tidak pernah turun kayak hujan, tapi karena program ini kita 'terpaksa' musti banyak baca, banyak ngobrol. Walhasil, pengetahuan dan skill juga bertambah terus. Pastinya ini positif. Mudah-mudahan bisa lebih tekun lagi.

Klik disini untuk mengikuti perjalanan Read or Die.
Read more!

Tuesday, October 21, 2008

Tiga Karakter Desain dan Desainer

Sebelumnya saya harus ngomong bahwa pengkategorian ini bukan bermaksud untuk mensubordinasikan atau bahkan mengkonfrontasikan satu kategori dengan yang lainnya. Lebih praktis dari itu, tulisan ini dibuat agar kita punya instrumen tambahan - bagi calon-calon klien dalam memilih jenis desain & desainer yang dibutuhkan, dan bagi desainer; untuk mempelajari dan mengatur posisinya masing-masing. Stefan Sagmeister dan David Carson membedakan desainer kedalam dua karakteristik, sementara saya sendiri mengamati bahwa sedikitnya ada tiga karakteristik besar:

1. Content Driven
Ini satu karakteristik dimana desainer mempunyai kecenderungan dalam mengolah ide dasar dari media, distribusi, dan strategi-strategi lain lebih dari visualisasi 2 dimensional (grafis). Ketika anda menyebutkan kata Poster misalnya, yang ada di kepala desainer ini adalah satu medium khusus dengan format, distribusi, material, teknik produksi, interaksi dan hal lain untuk dieskplorasi. Desainer seperti ini selalu mengerjakan visualisasi di bagian akhir dan hanya sebagai bagian implementasi dari strategi-strategi konseptual. Tidak lebih dari itu. Walhasil, mereka sukar memutuskan untuk loyal pada satu style visual, in fact mereka bisa berkarya dengan banyak kemungkinan style visual. Beberapa kadang bisa secara drastis melompat dari satu karakter visual ke karakter visual yang lain.

2. Style driven
Kategori ini justru sangat loyal pada satu karakter visualisasi tertentu. Menganggap style visual tertentu sebagai bagian dari personalitasnya, desainer seperti ini bekerja seperti seorang fashion stylists, pelukis atau pegrafis. Berawal dan selalu berfokus pada visualisasi. Ketika anda menyebutkan kata Poster misalnya; mereka langsung membayangkan visualisasinya. Eksplorasi, eksperimen dan studi mengenai fashion (bentuk/ kemasan dari sebuah makna) menjadi unsur yang paling dominan dalam ketekunannya. Stefan Sagmeister mengklaim bahwa David Carson adalah salah satu model yang tepat bagi spesies ini.

3. Kombinasi dari keduanya
Jenis yang saya maksud disini adalah yang kuat di content dan style visual. Dari kedua kategori diatas spesies ini barangkali yang paling langka. Sampai saat ini saya hanya bertemu dengan sedikit sekali. Barangkali memang lebih mudah untuk berkonsentrasi pada satu hal saja daripada dua hal sekaligus.

Yang tak kalah menarik untuk dicermati menurut saya ialah bahwa pertama; industri desain sampai saat ini tidak banyak menyisakan cukup ruang bagi desainer untuk survive hanya dengan satu cara yang steril dan terkotak di salah satu kategori saja. Pada prakteknya, kita bisa amati bahwa kadang content driven designer juga mendesain dengan - stylistically - visual driven, demikian juga sebaliknya. Jadi tidak sehitam putih itu. Kedua; tidak ada yang lebih ‘baik’ atau ‘benar’ dari keduanya selain bahwa masing-masing punya banyak alasan sehingga sampai di posisi tersebut, dan efektifitas penggunaannya sangat bergantung dengan jenis pekerjaan, segmen audiens, dan medium yang tepat dengannya. Ketiga; Butuh kecermatan khusus dalam melihat seluruh rangkaian portfolio, dan latar belakang kedirian sebelum mengklaim di posisi mana sebetulnya seorang desainer bisa menemukan kekuatan maksimalnya.Yang jelas pemilahan ini bisa dilihat sebagai pemposisian diri, karya dan aktifitas desain. Sehingga klien dan calon klien, desainer, ataupun pengamat bisa memilih, mencoba dan mengerjakan pekerjaanya lebih positif, fokus, strategis dan juga efektif. Mudah-mudahan begitu ya ;-).
Read more!

Back on Demand


















Hai, hai. Tiga bulan lebih barangkali saya 'puasa' posting. Saya suka bilang, "lagi hektik banget di studio sama urusan lain" kalo ada yang nanya kenapa blognya ga keurus, well, sebetulnya emang mungkin gak bisa ngemenej aja kali ye. Yang jelas, banyak hal terjadi, dan terpikirkan selama kurun waktu puasa ini. Rectoverso yang gak habis-habis, proyek lain, ide dan lain-lain yang berhasil memaksa saya, sekali lagi, buat mulai blogging. Saya bakal coba bertahap dengan mulai ngeberesin layout dan postingan sebelumnya. Ada beberapa posting dari blog saya yang lama: Platform Network, yang kayaknya -menimbang ternyata sungguh sulit ngemenej banyak sekali blog- mending saya pindahkan semua materinya kesini. Jadi yang baca juga gak repot. Selanjutnya, ada beberapa posting baru. Mudah-mudahan bisa lebih tekun. See You around.
Read more!

Wednesday, March 12, 2008

Fresh Meat (He he)

Hari-hari pertama perkuliahan buat saya selalu spesial. Seneng dan agak gugup tepatnya karena bakal ketemu sama orang baru, mahasiswa baru, atmosfir baru, kadang kadang materi baru, dan yang jelas, permasalahan baru.

So there I am. Di dalam kelas bareng Kankan dan anak-anak semester tiga. Thank God ! cuman ada sekitar 20 orang. Jadi bisa lumayan lebih santai dan hemat tenaga. Masih dalam momen-momen kenalan, belum ada materi yang terlalu spesifik dan intensif selain mengajak peserta kuliah sama-sama memikirkan ulang perjalanan DKV dan menggambarkannya dalam selembar HVS ukuran A4. Hitam putih. Berikut karya mereka:




















































































































































Adre. Itu tuh yang ngegambar mata and gedung didalam pupilnya, menuliskan ini di bagian belakang kertas:

'Menurut saya dengan visualisasi kita dapat melihat indahnya dunia. Melihat suasana kota dan kita dapat mendapatkan banyak informasi dan ide. dri plang/reklame yang banyak memberi ide. dgn dari apa yang dpt dilihat kita dpt menggunakannya sebagai jalan untuk promosi atau menyampaikan pesan dgn visual'





Read more!

Monday, February 18, 2008

Desain Grafis, Advertising, Metalingua, dan Morning Mind Breaker dari Enno

Ceritanya pagi itu saya harus melakukan sidang tugas mata kuliah kampanye yang saya asuh satu semester ini. Saya datang beberapa puluh menit lebih awal. Cukup antusias berhubung sudah hampir 2 minggu ga ke kampus. Rindu dendam begitu.

Jam 9 kurang (jadwal sidang jam 9) saya sudah sampe di kantor, naik tangga menuju kelas, pengen tau kesiapan peserta sidang dan mendapati ruangan sidang yang masih keos dan peserta sidang yang baru mulai menginstall materi. Walhasil, saya lontang-lantung cukup lama (sidangnya sendiri baru mulai sekitar jam 11, telat 2 jam, Gosh!). Jalan-jalan. Baca. Ngobrol sedikit-sedikit dengan teman-teman staff pengajar, sampai akhirnya 'terjebak' di salah satu meja di seberang meja Enno (Enno atau Bu Enno, ya?), salah satu staff pengajar yang saya sudah kenal cukup lama, dan untuk kesekian kalinya mengejutkan saya dengan pikiran-pikiran dan pemilihan momen pengungkapannya. Pagi itu, waktu pikiran setiap lagi didefrag, masih belum terlalu solid, termasuk saya. Ditengah lontang lantung penungguan sidang dan adaptasi, Enno ngeluarin satu kata yang sangat memukau, "Saya Muak"... Heuheu... Betul sekali. Jam 9 pagi. Bukan di sinetron tapi live dihadapan saya. Seseorang mengeluarkan kata yang sensitif itu.

Kalimat lengkapnya kalo saya ga lupa, kira-kira gini: "Saya sudah muak dengan pengorientasian DeKaVe (Desain Komunikasi Visual - singkatan, maksudnya) sebagai advertising... kayaknya dimana-mana, di kampus manapun, pembiacaraan tentang DeKaVe selalu diorientasikan ke advertising. Aktifitas yang tujuannya ngerayu orang buat beli produk komersil... gimana dengan aktifitas info grafis, gimana dengan aktifitas-aktifitas dekave buat sesuatu yang sifatnya nonprofit?... bla... bla.. " (sisanya saya lupa-maaf). Meskipun Enno tidak teriak-teriak ketika ngeluarin statement ini, sebetulnya malah agak berbisik-saya terpaksa musti ngedeketin tempat duduknya, tak urung pikiran saya langsung jungkir balik. Heran, kagum, terpesona dan bingung dengan situasi yang tidak pernah saya bayangkan bakal kejadian di pagi yang agak monoton itu dari obrolan sekenanya (waktu itu saya dan Enno ngobrol sambil baca) dengan seorang Enno. Woo Yeah.... Saya langsung menyetel ulang frekwensi otak saya. Let's Rock!.

Waktu itu saya langsung teringat 2 literatur yang pernah saya baca. Yang satu buku Graphic Design as Communication dari Malcolm Barnard (sempat saya review di blog ini kalo gak salah), satu lagi buku Design for Communication: Conceptual Graphic Design Basic dari Elizabeth Reswick dkk, sebagian dari dua buku itu ngebahas DeKaVe - atau tepatnya - desain grafis dari sudut pandang yang kurang lebih sama. Bahwa dari sudut pandang desain grafis, sekali lagi - dari sudut pandang desain grafis-, advertising hanyalah salah satu potensi (Malcolm Barnard sebetulnya menyebutnya sebagai 'fungsi', bukan potensi) dari desain grafis, hasil perkawinannya dengan marketing (atau tepatnya marketing mix yang klasik itu).

Lepas dari sebab musabab kenapa akademi-akademi DeKave lokal sangat fanatik dengan potensi advertising dan promosi komersial ini, lepas juga dari sebetulnya seperti apa potensi, hambatan dan tantangan yang bakal dihadapi seandainya institusi DeKave diarahkan jadi instrumen advertising, sebetulnya potensi DeKave dan desain grafis saya percaya sungguh lebih luas daripada itu. Melalui bukunya, Malcolm Barnard menguraikan hal ini setidaknya kedalam 5 kategori: informasi, persuasi, magic - "... The Second thing is alluded to by Tibor Kalman (1991), when he says that most graphic design is about is 'making something different from what truly is'..." - mentransformasikan sesuatu menjadi sesuatu yang lain, yang terakhir; metalinguistic & pathic function, "...Metalinguistic communication therefore, is a communication that comment on, explains, clarifies or qualified another piece of communication (Ashwin 1989:208). Lebih jelas mengenai premis-premis Malcolm dan ... ini silahkan baca langsung bukunya.

Bila advertising dimanfaatkan sebagai instrumen survival desain grafis. Satu wadah dimana produk, aktifitas dan konsep desain grafis terus direproduksi, konsekwensinya saya pikir akan terjadi satu kondisi dimana desain grafis tentu saja harus berkompromi dengan kaidah-kaidah advertising. Di titik ini saya merasa kejenuhan yang dialami oleh Enno adalah nyata, senyata tidak tertolakkannya pemikiran marketing kapitalistik dalam detik demi detik kehidupan sehari-hari kita, inci demi inci pemikiran dan kebiasaan kita. Desain grafis akan dijudge berdasarkan kualitas-kualitas marketing dan ekonomi. Pencapaian, dan setiap inci dari prosesnya akan dihitung berdasarkan penghitungan-penghitungan marketing. Yang tentu saja berbeda dan sekali lagi, hanya sebagian saja dari kualitas-kualitas multidispliner yang berhubungan dengan desain grafis.

Itulah barangkali kenapa Tibor Kalman dan Michael Beirut, dimasa-masa pertengahan dan akhir karirnya, banting setir dari rutinitas desain (desainer) komersial yang glamor dengan hanya mengerjakan project-project nonprofit . Community based, dan atau dari institusi-institusi nonprofit. Supaya desain grafis dapat diperlakukan lebih leluasa. Well, setidaknya lebih leluasa daripada perlakuan marketing kapitalistik.

Berusaha merunut akar desain grafis, melakukannya fase demi fase prosesnya dengan kesadaran, menemukan sengkarutnya dengan ideologi kapitalis. Menapaki perkawinannya dengan marketing, advertising. Mengamati posisinya sebagai instrumen penjualan benda-benda konsumer. Berusaha menemukan sudut pandang yang berbeda dimana desain bisa menjadi instrumen penghidupan spiritualitas, citizenship, ramah lingkungan, dsb. Ditengah kejumudan, terkadang jauh lebih sulit untuk menerima dan tetap bisa bertahan dengan kesadaran berbeda daripada melawannya mati-matian.

Setidaknya bagi beberapa orang. Beberapa desainer, akademisi, termasuk mungkin Enno dan pastinya juga saya. Mungkin di titik itulah mengapa pagi obrolan yang shocking dan mindbreaking pagi ini jadi punya hikmah. Setidaknya kita bisa membicarakannya, dan sekarang, saya menuliskannya. Hmm. Hari yang sensasional... Siang itu saya meninggalkan kampus sambil mesem-mesem sendiri... Thx

Read more!